Rabu, 16 Januari 2013


Pengertian Fakir dan Miskin

Para ulama berbeda pandangan tentang parameter fakir dan miskin serta perbedaan di antara keduanya; apakah FM merupakan satu bentuk atau dua bentuk yang berbeda. Abu Yusuf (sahabat Abu Hanifah), Ibn Al-Qashim (sahabat Malik) mengatakan FM adalah hal yang satu. (Lihat Hasyiyah Al-Dasuqiy I/492, Fiqh Zakat Qardhawiy II/544).
Jumhur mengatakan: FM adalah dua hal akan tetapi satu jenis, yaitu orang-orang yang lemah lagi papa, adapun yang mengatakan FM adalah satu hal, maka ini tidak tepat. Sebab Allah menggandengkan kata fakir dengan kata miskin merupakan bukti adanya perbedaan diantara keduanya. Yang menguatkan hal ini, adalah sabda Rasulullah: Sesungguhnya Allah memilahnya (zakat) menjadi 8 bagian. Maka, jika kita katakan fakir dan miskin adalah hal yang satu, maka tentu hanya 7 bagian bukan delapan, walaupun para ulama berbeda pandangan tentang batasan makna dari masing-masing fakir atau miskin, akan tetapi mereka sepakat bahwa keduanya merupakan satu konteks.
Sebagian ulama mengatakan: Fakir adalah orang yang lemah dan papa, akan tetapi ia menghalangi dirinya dari meminta-minta. Dan miskin adalah orang yang lemah dan papa dan meminta-minta. Ini adalah ungkapannya Ibn Abbas, Mujahid, Hasan Al-Bashri.
Sebagian ulama yang lain mengatakan: Fakir adalah orang yang lemah dan papa akan tetapi menderita sakit yang menahun, adapun miskin adalah orang yang secara ekonomi lemah dan papa akan tetapi badannya sehat. Ini adalah ungkapannya Qatadah ibn Da’amah Al-bashri.
Sebagian ulama lainnya mengatakan: Fuqara adalah orang-orang fakir dari kalangan para pendatang/urban. Adapun miskin adalah orang yang memang lemah ekonomi akan tetapi bukan pendatang, melainkan pribumi. Ini adalah ungkapan Ad-Dhahak ibn Muzahim dan Sa’id ibn Jubair.
Sebagian ulama lain mengatakan: Miskin adalah orang yang pendapatan/pencahariannya lemah. Sebagian lain mengatakan: Fakir itu lafadz untuk orang muslimin yang lemah ekonominya, sedangkan miskin adalah lafadz untuk ahli kitab (Yahudi dan Kristen).
Ikrimah ibn Abdullah Al-Madaniy Al-Hasyimiy, maula Ibn Abbas, Ibn Jarir, mengatakan: Yang dimaksud dengan fakir adalah orang yang lemah ekonominya tapi tidak meminta-minta, sedangkan miskin adalah orang yang lemah ekonominya yang juga meminta-minta. Imam ibn Jarir merajihkan pendapat ini karena asal makna kata maskanah beredar pada hal tersebut. Allah berfirman tentang Yahudi: (Ditimpakan kepada mereka kenistaan dan maskanah/kehinaan#QS. Al-Baqarah: 61). (HR. Muslim & Muslim) (Lihat Tafsir At-Thabariy 14/305-309, Fiqh Zakat Qardhawiy 2/545, Tafsir Ayatil Ahkam Manna’ Al-Qathan 3/352). Juga dalam hadits: “Miskin bukanlah orang yang meminta-minta, lalu diberi 1 atau 2 kurma, 1 atau 2 suapan makanan, akan tetapi miskin adalah orang yang menahan diri dari meminta-minta, padahal ia tidak berpunya. Bacalah --jika kalian mau-- ayat Allah: (Mereka tiada meminta-minta kepada manusia# Q.S. Al-Baqarah: 273) (Lihat Tharhu Al-Tastrib fii Syarhi Al-Taqrib 4/32).
Para ulama mengatakan: Makna hadits bahwasannya miskin yang sangat (kemiskinan absolut) adalah yang tidak meminta-minta kepada manusia dan tidak menampakkan lemahnya keadaan ekonominya. Dan ini tidak berarti bahwa ia tidak meminta-minta, melainkan keadaan ekonominya tidak lemah sama sekali. Para ulama berdalil dengan keumuman penggunaan lafadz maskanah terhadap orang yang meminta-minta, dalam sebuah hadits: Berilah orang miskin yang memintamu walaupun dengan dhulf muharraq (HR. Ahmad, Nasa’i, dengan sanad hasan). Lihat Al-Jami’ Al-Shaghir 2/24.
Para ulama sepakat bahwasannya peminta-minta yang tiada berpunya adalah orang miskin. Dan ini menunjukkan bahwasannya lafadz miskin adalah kata yang mencakup ketiadaan harta dan ketiadaan pemberian dari masyarakat, karena masyarakat menilai orang tersebut tidak kekurangan dikarenakan ia tidak meminta-minta. (Lihat Tharhu Al-Tatsrib 4/3233. Oleh karena itu, Imam Al-Khaththabi menjelaskan dalam “Ma’alim Al-Sunan”-nya, “Dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwasannya miskin menurut masyarakat secara kasat-mata adalah yang mereka sebut dengan peminta-minta, dan Rasulullah menafikan kata miskin darinya karena dengan ia meminta-minta akan terpenuhi kebutuhannya. Dan terkadang apa yang ia terima bertambah, maka bertambah pula kebutuhannya. Maka, hilanglah dari orang tersebut gelar miskin. Dan senantiasanya digunakannya kata “tidak berpunya dan melarat” adalah kepada orang yang tidak meminta-minta dan tidak ada perhatian dari masyarakat yang mau memberi kepadanya. (Ma’alim Al-Sunan: 2/232).
Para ulama berbeda pandangan tentang mana yang lebih parah kondisinya: fakir ataukah miskin?
Para ulama syafi’iyah dan hanabilah mengatakan: Fakir lebih parah kondisinya daripada miskin. Yaitu orang yang tidak punya harta dan tidak punya pekerjaan yang bisa memenuhi kebutuhannya, sebagaimana sudah kami kemukakan di awal. Sedangkan miskin, adalah orang yang masih bisa memenuhi kebutuhan hidupnya akan tetapi tidak sempurna. Oleh karena itu, fakir lebih parah kondisinya daripada miskin.
Sebagian orang mengatakan: Tidak ada perbedaan antara fakir dengan miskin. Ini adalah ungkapannya Ibn Qashim, salah seorang sahabat Imam Malik. Demikian juga ungkapan Imam Abu Yusuf. Mereka mengatakan: yang demikian karena kehinaan itu sifat melekat yang ada para fakir.

Hujjah Imam Syafi’i dan Imam Ahmad adalah sebagai berikut:
1. Allah memulai menyebut kata fuqara. Dan penyebutan ini di awal tidak lain karena mendahulukan yang termendesak dan baru yang berikutnya. Dan Allah hanya menyebutkan zakat untuk 8 ashnah tersebut tidak lain untuk memenuhi kebutuhan mereka dan mendapatkan kebaikan mereka. Dan ini menunjukkan bahwa ashnaf yang pertama kali disebut merupakan yang terparah, paling membutuhkan.
2. Kata fakir pada asalnya, secara bahasa adalah tulang belakang yang tercerabut dari punggung. Maka, fakir bermakna terhalang dari beraktivitas dan bekerja.
3. Rasulullah pernah berdoa berlindung kepada Allah dari kefakiran, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Aisyah. Beliau berdoa: Ya Allah, hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan wafatkan aku dalam kemiskinan dan kumpulkanlah aku bersama orang-orang miskin. (HR. Tirmidzi dari hadits Anas). Seandainya miskin lebih parah daripada fakir, maka untuk apa beliau berlindung kepada Allah dari kefakiran dan meminta kemiskinan. Dari hal ini, maka jelaslah bahwa miskin masih lebih bagus daripada fakir.
4. Ayat Allah yang berbunyi: Adapun kapal itu, maka itu adalah milik orang-orang miskin, mereka nelayan (Al-Kahf: 70). Allah menggelaari mereka yang punya kapal dan mencari ikan di laut dengan kata miskin. Tidak pernah disebutkan dalam Al-Qur’an kalau orang fakir itu punya sesuatu.. Oleh karena itu, benarlah bahwa fakir lebih parah kondisinya daripada miskin. (Lihat tafsir Khazin 2/234, Qurthubi: 8/169)
5. Ayat Allah yang berbunyi: Untuk orang-orang fakir yang berhijrah yang diusir dari rumah-rumah dan harta-harta mereka .... (Al-Hasyr: 8). Maka, benarlah bahwa fakir adalah tidak punya harta sama sekali, karena Allah mengabarkan bahwa mereka disuri dari rumah dan harta mereka serta dilarang dari membawa sebagian harta mereka. (Lihat: Al-Muhalla: 6/212).
Dua madzhab, malikiyah dan hanafiyah, menyatakan miskin lebih parah kondisinya daripada fakir. Fakir, sebagaimana yang disebutkan oleh madzhab hanafiyah, adalah orang yang punya kelebihan harta kurang dari nishab zakat, atau memiliki barang, peralatan/perabot, pakaian, buku dan yang lainnya yang nilainya satu nishab atau lebih, akan tetapi digunakannya untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Dan orang miskin, menurut hanafiyah, adalah orang yang tidak punya apa-apa. (Lihat Tanwirul Abshar dan Syarh Al-Mukhtar, Hasyiyah ibn Abidin Raddul Muhtar 2/339, Syarh Fath Al-Qadir 2/15, Tafsir Qurthubi 8/169-171.
Madzhab malikiyah dan lainnya menyatakan kata fakir dan miskin, secara makna, kedua-duanya bermakna tidak adanya kecukupan. Dan kecukupan yang dimaksud oleh malikiyah dan hanafiyah adalah cukup biaya hidup selama 1 tahun penuh untuk: pangan, sandang, rumah, dan seluruh kebutuhan dasar manusia, tanpa berlebihan atau berhemat-hemat. (Lihat Tafsir Ayat Al-Ahkam, Manna’ Al-Qaththan 3/353-354).

Hujjah madzhab malikiyah dan hanafiyah adalah sebagai berikut:
1. Nukilan Imam Al-Ashma’iy dan Abu ‘Amr ibn Al-Alla’ dan para ulama lughah yang lainnya, menyatakan miskin lebih parah kondisinya daripada fakir.
2. Firman Allah: Atau orang miskin yang sangat fakir (Al-Balad: 16) maknanya adalah melumuri kulitnya dengan tanah untuk menutup aurat tubuhnya dan mengganjal perutnya dengan tanah untuk mengurangi rasa laparnya. Ini menunjukkan kondisi terendah dan terparah, sedangkan kata fakir tidak diterangkan demikian.
3. Orang miskin adalah orang yang dibuat tidak berdaya oleh kefakiran dan yang tinggal disembarang tempat karena tidak punya rumah. Dan ini menunjukkan kondisi kejelekan yang terparah.
4. Allah menjadikan kafarat itu untuk orang-orang miskin. Seandainya miskin bukan strata ekonomi terendah dibandingkan fakir, tentu Allah tidak menjadikan kafarat untuknya.
5. Ucapan pepatah: Adapun fakir adalah yang memiliki halubah, bersama keluarga lagi tidak ditinggalkan tuannya. Maksudnya fakir itu memiliki susu bersama keluarganya dan tidak barang lainnya, maka dinamakan fakir walaupun memiliki susu. (Lihat Tafsir Al-Khazin 2/234, Mukhtar Al-Qamus 287).

Sebagian ulama merajihkan pandangan yang pertama (Syafi’iyah dan Hanabilah –pent), yaitu miskin masih lebih baik daripada fakir, berdasarkan Al-Qur’an dan hadits Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah. Rasulullah bersabda: Orang miskin bukanlah orang yang pergi meminta-minta, lalu orang memberinya 1 atau dua butir kurma, 1 atau 2 suap makanan, akan tetapi miskin adalah orang yang tidak punya barang untuk mencukupi kebutuhannya dan tidak ada orang yang perhatian kepadanya lalu memberinya shadaqah, dan ia pun tidak pergi meminta-minta. (HR. Bukhari dan Muslim) Lihat Nailul Authar 4/178. Diterjemahkan oleh Abu Muhammad ibn Shadiq)

MENCIPTAKAN KNERJA QORI'


01. Kasih Sayang
                Seorang Qori’ sudah seharusnya  menyayangi dan mengasihi anak didiknya, sebagai tenaga pembantu dalam urusan pengajian sebisa mungkin kita bisa  menempatkan diri, mengasihi bukan berarti memanjakan atau membiarkan tanpa ada perhatian akan tetapi menanamkan pengetahuan, kebribadian, kedisiplinan pada anak didiknya serta mencegah perilaku dari norma- norma santri diibaratkan kasih sayang  orang tua kepada anaknya, pastinya oraang tua tidak ingin anaknya manja atau bodoh bahkan terkesan liar tidak ada perilaku yang mengarau kebaikan .
Seperti Sabda Nabi S.A.W,
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
Artinya : Aku ( Nabi ) kepada kamu sekalian , Cuma menyamakan orang tua kepada anaknya. 
02. Ikhlas
                Cita- Cita guru adalah mencerdaskan anak didiknya , baik secara spiritual atau emosional yang dilandasi dengan syari’at  maka untuk mewujudkan dengan keikhlasan, sang muasispun sudah membuatkan system pegajaran yang sedemikian hebatnya di pesantren kita, sudah ma’lum seorang qori’ dilarang menerima upah atau pemberian dari santri, dan semua itu bukanya para qori tidaak dihargai atau diperhatikan itu semua untuk pembelajaran nilai- nilai keikhlasan dalam benak kita. dimasa mendatang yang perlu ditanamkan dalam diri kita didalam berkhidmah tidak lain hanya megharapkan ridlo masyayih dan ridlo illahi, lebih- lebih sebagai pembelajaran taqarub pada illahi.
aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
03. Perhatian
Dengan perhatian kepada anak didiknya, kita bisa  mengetahui kemampuan anak didiknya sehingga kita bisa mengategorikan, mengarahkan, bahkan menasehati dengan melihat level mereka, selebihnya kita tertuntun lebih aktif atau mencari tahu keseharianya. Seorang guru ( Qori ) harus masuk kedunia anak lalu membantunya untuk memaksimalkan potensi yang yang dimilikinya, Slogan “ Masuklah kedalam duniaku dan bawalah aku terbang bersama duniamu “ adaalah prinsip yang tepat dalam memasuki dunia anak, ketika orang telah masuk dunianya lalu membangkitkannya, maka yang akan muncul adalah masa pendidikan dan pembelajaran yang dikembangkan persahabatan dan kerelaan .
04. Menasehati dengan cara harus ( Ta’rid )
                Ta’rid adalah perintah dengan halus, dan bertata karma
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa 
Ketika kita melarang sesuatu karena kurang sopan dalam berperilaku maka degan cara menyindir selagi  memungkinkan, jangan langsung menegur dengan cara mencela, karena mencela atau mengolok - olok bisa merusak kebribadian ( tingkah laku ) dan bisa menyebabkan berani melanggar peraturan yang ada didalam pondok. Lebih – lebih bisa menjadikasn minder atau membenci qori’ dan pelajaran yang sedang dipelajari
Seperti sabda nabi :
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
“ ketika seseorang  ( manusia ), dilarang dari memotong kotran ( faki ) yang kadang mereka malah melakukanya dan berkata kami dilarang melakulkan sesuatu kecuali didalamnya pasti ada sesuatu yang lain “
05. Toleransi
                Dalam satu ruang atau satu tingkatan yang tidak mampu oleh satu qori’ semua qori harus bisa kerja sama secara penuh ( kompak ), berusaha harus aktif secara istiqomah guna menunjukan sikap toleransi untuk menghargai orang lain, yang berbeda dan sekaligus menerima program dari DEWAN QORI’IN, maka hubungan antar sesama     qiri’ yang berjalan harmonis dan bertanggung jawab sangat membantu tercapainya kesuksesan sebuah visi yaitu mencerdaskan santri.
06. Lugas
                Dalam menyampaikan pokok pelajaran sebaiknya dengan cara lugas, menstandarkan kemampuan atau daya kepemahaman mereka, jangan menerangkan secara singkat atau sering berulang – ulang bahkan menyampaikan materi secara berlebihan sehingga menyebabkan mereka tidak paham atau malah bingung, maka dari itu dipondok diadakan musyawaroh   antar qori’ yang bertujuan untuk menghindari masalah tersebut.
07. Menjadi Suri Tauladan
                Qori adalah BAK seorang Santri, dimana dalam kegiatan sehari – semalam selalu diamati oleh santrin , baik secara perkataan, berpakian, maupun kebribadian. Dan ini jelas akan dijadikan pijakan merka melangkah, dalam kehhidupan dippondok, qori’ harus memiliki tanggung jawab moral dikarenakan menjadi figur  sekaligus model yang mewarnai pembentukan karakter dan kebribadian santri, qori’pun harus bisa menempatkan dan mengontrol dirinya sebagai teman qori’, atau pun pengurus. Maka apapun yang kita kerjakan haruas mampu mempertanggung jawabkanya, seseorang qori’ itu diibaratkan membatik dikain putih, bagaimana kita bisa membuat batik yang bagus kalau kita belum bisa membatik
Seperti firman  ALLAH  S.W.T  :
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
Dan sabda nabi :
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
                                                                                                                                                                DEWAN QORI’IN 

SYECH NAWAWI AL BANTANI


SYUKURI NIKMAT ALLAH


MENSYUKURI NIKMAT ALLAH

Semenjak kita dalam kandungan Ibu sampai kita lahir bahkan sampai hari Akhirat nantiknya sorga ataupun neraka Allah yang nama manusia tak luput dari Nikmat Allah Swt.Kalau kita bicara tentang Nikmat Allah berarti kita tidak terlepas dari 4 perkara yang harus kita ketahui selaklu hamba Allah:
1.      Orang yang memberi Nikmat
2.      Nikmat yang diberikan
3.      Orang yang menerima Nikmat
4.      Ucapan Syukur terhadap nikmat yang diberikan Allah.
Ma’asyiral Kaum Muslimin Rahimakumullah

1.  Orang yang memberikan nikmat
Orang yang memberikan nikmat adalah Allah dialah yang berkuasa menambah dan mengurangkan nikmat yang ada pada diri insan,kalau Allah yang berkehendak untuk menambahnya maka tak seorang yang dapat menolaknya dan begitu sebaliknya kalau Allah berkehendak untuk mencabut nikmat yang ada pada manusia juga tak seorangpun yang mampu mempertahankannya kenapa demikian….? Karna Iradatullah Fauqa Kulli Iradah (kehendak Allah diatas segala kehendak), manusia hanyalah bisa berencana bikin ini dan itu namun keputusannya terletak pada keputusan Allah meskipun sebelumnya perkara itu telah diputuskan oleh Allah Sebagaimana Orang kita bilang
kok ndak dapek silandak lidih
 silandak bilh nan balaku
Kok ndak dapek kandak hati
Kandak Allah nan balaku
Miskipun kita telah memilki 1001 macam rencana namun semua itu tidak berarti apa-apa kalau sipemberi nikmat tidak merestuinya, Betapa banyak kita lihat orang tua sang anak mengini anaknya sekolah tinggi, tapi tak semua orang Tua yang memperoleh keinginannya yang seperti itu bahkan kadang kala sang anak tidak sadar bahwa oang tuanya telah bersusah payah mencarikan nafkah demi keberhasilan anaknya tapi semua itu merupakan kehendak sang pemberi Nikmat.

2.  Nikmat yang diberikan Allah
Secara garis besar nikmat yang diberikan Allah Swt kepada Ummat manusia terbagi dua yang pertama nikmat Ijad artinya mengadakan seuatu nikmat yang belum ada dan yang kedua nikmat Imdad yaitu nikmat yang diberikan Allah ada kelanjutanya, Nikmat yang paling diantara nikmat yang diberikan Allah itu adalah nikmat Iman dan kesehatan. Kalaulah manusia menghitung nikmat Allah yang ada meskipun dibantu oleh Computer an alat teknologi canggih lainnya tak seoangpun yang sanggup menghitungnya, ranting-ranting dijadikan pena, daun-daun sebagai bukunya dan lautan sebagai tintanya tentu belum cukup untuk menuliskan nikmat Allah yang diberikan kepada manusia “ "وَ إِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةِ اللهِ dan jika kamu hitung nikmat Allah niscaya takan sanggup kamu menghitungnya”

3.  Orang yang menerima nikmat Allah
     Sikap manusia dalam menerima Nikmat Allah tidaklah sama, ada orang yang menerima nikmat allah. Ketika dia telah menerima nikmat yang diberikan Allah lalu dia tidak ingat akan orang yang memberi nikmat dan ada pula orang yang ketika menerima nikmat dari Allah dia ingat akan orang yang memberi nikmta kepadanya sehingga akan terlancarlah dimulutnya kaliamah-kalimah yang baik dan bernilai Ibadah disisi Allah Swt. Nah orang yang seperti ini akan ditambah nikmatnya oleh Allah Swt. Sehingga dalam Surat Ibrahim ayat 7 Allah bertfirman:

َلإِنْ شَكَرْتُمْ َلأَزِيْدَنَّا كُمْ وَ َلإِنْ كَفِرْتُمْ إِنَّا عَذَابىِ  لَشَدِيْدٌ                                           
Sungguh jika kamu sukuri nikmatku akanku tambah nikmat yang kuberikan kepadamu dan jika kamu kufur terhadap nikmat yang kuberikan niscaya Azabku sangat pedih
Kaum Muslimin wal muslimat Rahimakumullah

4. Adanya Ucapan Syukur terhadap nikmatnya
Nah kewajiban kita selaku orang Mukmin dengan berdasarkan ayat diatas adalah Mensyukuri Nikmat Allah yang diberikannya kepada kita dan salah satu tanda - tanda orang yang mensyukuri nikmat Allah lahirnya ucapan-ucapan baik pada mulutnya, contoh kecilnya saja ketika kita akan makan diawali dengan Bismillah dan ketika telah selesai makan  ataupun minum diakhiri dengan Alhamdulilla ini adalah satu contoh sikap orang yang mensyukuri nikmat Allah Swt.
Lafaz yang menyatakan Syukur kepada Allah sangatlah banyak salah satunya yang paling baik adalah lafaz Pujian yakni Alhamdulillah lafaz ini apabila dibaca oleh seorang yang beriman dia ringan pada lidah namun sangatlah berat pada timbangan artinya Mudah diucapkan dan banyak, nilai ibadahnya disisi Allah Swt.
Dan salah satu contoh lagi menandakan orang yang  bersyukur kepada Allah adalah dia mau berterima kasih kepada sesama manusia ketika orang lain memberikan sesuatu yang bermanfa’at baginya apakah itu perkara dunia apalagi urusan akhirat.
Pernah dalam sebuah Hadistnya Rasulullah bersabda:
لاَ يَشْكُرُ اللهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَاسَ ( رواه          )
Artinya:Tidaklah dinamakan bersyukur kepda Allah orang yang tidak berterima lkasih kepada sesame manusia
( HR.                        )
Kaum muslimin walmuslilmat Rahimakumulla

Sepanjang uraian diatas dapatlah kita ambil kesimpulan:
1.      Marilah kita Mensyukri nikmat Allah yang telah diberikannya kepda kita dengan jalan menta’ati segala perintahnya dan meninggalkan segala larangannya karna dengan itulah seorang manusia akan memperoleh derajat yang paling mulia disisi Allah Swt.
2.      berdasarkan surat Ibrahim ayat 7  manmusia akan diazab apabila dia meninggalkan syukur kepada Allah Swt. Namun sebaliknya apabila kita bersyukur tentu nikmat yang ada akan ditambah oleh Allah Swt.

Good nigh selamat malam
Good morning selamat pagi
Saya sudahi dengan salam
Semoga kita berjumpa lagi



بِاللهِ تَوْفِيْقُ وَ الْهِدَايَةُ
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ

Wasalam